Sebuah negara tidak serta merta lahir begitu saja. Seperti halnya anak manusia yang terlahir ke dunia, negara adalah hasil perjuangan, komitmen, dan pengorbanan. Juga hasrat untuk memiliki “rumah” tempat berdiam. Bagaimana Ibu Pertiwi menjadi sebuah negara bernama Indonesia? Beginilah riwayatnya.
Pada tanggal 17 Agustus 2021, Indonesia genap berusia 76 tahun sebagai negara berdaulat penuh. Terlepas dari kontroversi plus minusnya, bagi rakyatnya, Indonesia ada rumah yang dibangun dengan perjuangan dan pengorbanan para bapak bangsa, pahlawan, pejuang, dan rakyatnya. Indonesia adalah negeri yang berlimpah sumber daya alamnya. Tak heran, ia bagaikan gadis molek di mata negara-negara imperialis. Namun, bagian penjajahan sudah selesai. Bagian kita saat ini adalah mengisi alam kemerdekaan dengan memberikan bakti yang terbaik bagi Ibu Pertiwi. Oooh, tunggu dulu. Mari kita menengok ke belakang untuk melihat bagaimana Indonesia bisa
ada. Yuk!
Ras Manusia Modern Pertama
Penemuan sisa-sisa manusia purba di akhir abad 19 di Pulau Jawa mengagetkan dunia arkeologi internasional. Pasalnya, sisa-sisa hominid ini diidentifikasi sebagai bukti ilmiah pertama di dunia homo erectus. Penemuan-penemuan fosil ini berlanjut sampai awal abad 20 di dekat Sangrian yang kemudian terbukti lebih tua lagi usianya. Dipastikan, Pulau Jawa adalah asal muasal ras manusia modern. Hampir seratus kemudian, tulang belulang sembilan individu digali di Flores. Diyakini, kelompok individu ini pernah berada dalam satu zaman dengan gajah kate “Stegodon”. Penemuan itu membuat para ilmuwan internasional bergegas ke Indonesia untuk membuktikan apakah tulang belulang itu merupakan ras pigmi, sebuah kontroversi di dunia arkeologi dan antroplogi yang masih menjadi misteri.
Penemuan tersebut tak hanya mengecilkan teori-teori yang ada tentang asal muasal manusia. Hal itu dibuktikan dengan adanya bukti-bukti bahwa beberapa dari individu itu jelas-jelas membuktikan karakteristik orang Asia Tenggara, dan memberikan “masukan” baru tentang pola perpindahan manusia. Kini, ilmuwan percaya bahwa ada dua gelombang migrasi besar ke Indonesia. Pertama adalah orang-orang Melanesia yang masuk, mungkin lewat jalan darat, dari utara pulau utama Asia. Kedua, adalah orang-orang Austronesia, para pelaut hebat dan populasi menyebar di Polynesia, Asia Tenggara, dan sampai Madagaskar.
Kerajaan-Kerajaan India
Awal abad 2 SM, sekelompok orang dengan peradaban maju muncul di Asia Tenggara. Mereka ini memahami kosmologi, kesusasteraan, arsitetur, dan organisasi politik yang memiliki pola yang sama dengan peradaban di India. Kerajaan-kerajaan itu dikenal akan peninggalan monumen-monumen yang indah: Borobudur, Prambanan, Angkor, Pagan, dan lainnya. Siapa pembuatnya sampai saat ini masih misterius.
Referensi pertama yang lebih khusus mengenai penguasa Indonesia dan kerajaan-kerajaan yang ditulis dalam bahasa China. Menggunakan skrip Palava yang berasal dari selatan India selatan, inskripsi batu yang dikeluarkan oleh penguasa Indonesia berada di dua area kepulauan: Kutai di pantai timur Kalimantan dan Tarumanegara di Sungai Citarum, Jawa Barat, dekat Bogor. Keduanya merupakan kerajaan Hindu.
Pada akhir abad ke-7 Masehi, sebuah kerajaan Buddha di Palembang mengambil alih dua selat strategis: Malaka dan Sunda. Kerajaan ini adalah Sriwijaya yang berkuasa selama 600 tahun ke depan. Sriwijaya menjadi pusat pendidikan agama Buddha di seluruh Asia dan memiliki sebuah universitas, di mana para biksu China memelajari Buddha sebelum ke India untuk tingkat lebih lanjut. Ibukota kerajaan itu ramai oleh perdagangan dan kerajaan sendiri memiliki kapal-kapal yang berlayar sampai ke India dan China. Puncak kebesaran Sriwijaya terjadi di tahun 1200. Bersamanya, kerajaan pagan Burma dan kerajaan Khmer di Kamboja menjadi tiga kerajaan terbesar di Asia Tenggara.
Masa Kolonialisme Belanda
Kisah pendudukan Belanda di Indonesia dimulai tahun 1596, saat empat kapal kecil Belanda, yang dipimpin oleh si sombong dan inkompeten Cornelis de Houtman yang tak becus dan sombong, berlabuh di Banten — saat itu adalah pelabuhan lada terbesar di kepulauan. Para pelaut Belanda yang letih itu turun untuk minum-minum dan dipaksa kembali ke kapal atas perintah seorang pangeran Banten yang marah. Sang pangeran mengurungkan niatnya untuk melanjutkan bisnis. Singgah dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya di sepanjang pantai utara Jawa, de Houtman memercayakan kapalnya dipegang anak buahnya sementara ia turun untuk membeli rempah-rempah. Saat tiba di Bali, seluruh krunya meninggalkan kapal. Perlu berbulan-bulan buat de Houtman untuk mengumpulkan mereka dan berlayar pulang.
Di Belanda, dua tahun kemudian, dengan hanya tiga kapal–penuh rempah–dan sepertiga jumlah kru, perjalanan de Houtman dinyatakan sukses besar. Harga rempah-rempah yang begitu tinggi di Eropa dapat menutup biaya perjalanan dan bahkan masih meraup keuntungan. Kesuksesan de Houtman melahirkan demam rempah bagi pelaut-pelaut Belanda–dan juga pemerintah. Tahun berikutnya, lima konsorsium membiayai 22 kapal untuk berlayar ke Hindia.
Di awal abad 20, terjadi tanda-tanda perubahan di seluruh penjuru Hindia. Ekspedisi militer Belanda dan perusahaan swasta menjelajahi pedalaman Sumatra dan pulau-pulau di bagian timur. Pelayaran kapal uap dan Kanal Suez (dibuka tahun 1869) menjadikan jarak Eropa lebih dekat ke Asia, dan kehadiran bangsa Eropa di kota-kota Jawa meningkat dengan teratur. Toko-toko baru yang indah, klub, hotel, dan rumah menambah aura kosmopolitan yang elegan, sedangkan koran, pabrik, penerangan (dengan gas), kereta api, bis, listrik, dan mobil memberikan rasa modern yang kuat.
Pendudukan Jepang
Di abad 12, seorang raja Jawa bernama Jayabaya menubuatkan bahwa orang kulit yang lalim suatu hari akan menguasai kepulauan Indonesia. Namun, setelah kedatangan orang-orang berkulit kuning dari Utara (yang hanya “tinggal” seumur jagung), Jawa akan selamanya bebas dari penjajahan asing dan memasuki zaman keemasan. Itulah sebabnya, ketika Jepang menginvasi Indonesia, banyak orang menerjemahkan bahwa itulah pertanda Belanda akan enyah dari Bumi Pertiwi.
Invasi Jepang di tahun 1942 membuktikan kekejaman pendudukan Belanda belum seberapa. Militer Jepang meredam perlawanan bangsa Eropa di Indonesia (dan Asia) dengan mengurung mereka di kamp-kamp konsentrasi. Awal kedatangan Jepang yang disambut gegap gempita karena dianggap akan membebaskan Indonesia dari penjajahan, ternyata berakhir dengan eksploitasi.
Saat kekalahan militer Jepang sudah di depan mata di akhir tahun 1944, pemerintahan Jepang berjanji untuk memberikan kemerdekaan supaya kembali mendapat dukungan lokal yang semakin hari semakin lemah. Di tahun 1945, di hari bom atom kedua dijatuhkan di Jepang, tiga pemimpin Indonesia terbang ke Saigon untuk menemui komandan militer Jepang untuk Asia Tenggara. Sang komandan menjanjikan kemerdekaan untuk semua negara Asia yang diduduki Belanda dan menunjuk Ir. Soekarno sebagai ketua panitia persiapan kemerdekaan dan M. Hatta sebagai wakil ketuanya. Mereka kembali ke Jakarta sehari sebelum Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Setelah dua hari berdebat, Soekarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, tepatnya tanggal 17 Agustus 1945.
Bermandi Darah
Dini hari 1 Oktober 1965, sebuah grup radikal tentara militer menculik dan secara brutal membunuh enam jenderal. Namun, aksi berdarah ini ditangani cepat oleh Jenderal Soeharto, yang saat itu menjabat komandan Panglima Komando Strategis Angkatan Darat. Bangsa Indonesia syok dengan berita eksekusi dan pembalasan dendam terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI)–yang dituduh mendalangi peristiwa ini. Semua orang yang berkaitan dengan PKI diburu. Alhasil, ratusan ribu orang terbunuh dalam kekerasan massa, diawali di Sumatra Utara, lalu merambat ke Jawa, Bali, dan Lombok.
“Pembersihan” ini berlanjut berbulan-bulan. Periode 1965 sampai 1966 dikenang sebagai periode terkelam dalam sejarah republik muda ini. Sementara itu di Jakarta, Soeharto pelan-pelan menggeser kekuasaan Soekarno. Pada 11 Maret 1966, Soekarno (dipersuasi untuk) menandatangani sebuah dokumen yang memberikan kekuasaan besar kepada Jenderal Soeharto yang kemudian berkuasa sampai 32 tahun selanjutnya.
Reformasi
Pada 12 Mei 1998, enam mahasiswa ditembak dan terbunuh saat berdemo untuk menurunkan Soeharto di Universitas Trisakti Jakarta. Peristiwa berdarah ini memantik kerusuhan dan kekerasan paling berdarah. Jakarta yang tidak aman membuat para orang asing berbondong-bondong keluar. Kawasan-kawasan bisnis yang tadinya ramai 24 jam bak kota mati. Jakarta membara karena kebakaran di sana-sini dan militer turun tangan.
Saat yang bersamaan, Soeharto mencoba untuk memertahankan kekuasaannya. Namun, satu persatu “orang dekatnya” meninggalkannya. Pagi hari 21 Mei, Soeharto “turun tahta”. Para mahasiswa yang turun ke jalan berhari-hari bersukacita. Mereka menari-nari di kolam pancur yang menghiasi halaman MPR saat Wakil Presiden BJ Habibie diambil sumpahnya untuk menggantikan Soeharto sebagai Presiden RI ke-3.
Dalam masa jabatannya yang singkat, Habibie membebaskan pemberitaan pers yang selama ini dibelenggu rezim Soeharto, mengizinkan Timor Timur (kini Timor Leste) untuk melakukan referendum, dan membawa Indonesia menyelenggarakan pemilu demokratis. Pemilu yang digelar Oktober 1999 itu menjadi ajang kekalahannya. Namun demikian, politik Indonesia membuat sejarah dengan memasuki transisi yang lebih demokratis.
Pada tahun 2009, Soeharto meninggal dunia. Di tahun berikutnya, angka kemiskinan turun secara dramatis dari 60 persen di tahun 1990 menjadi 14.1 persen. Di tahun 2010, meski tak luput dari krisis ekonomi dunia, Indonesia mampu menampilkan diri sebagai sentra ekonomi terkuat di Asia, di bawah China dan India. [IM]
(sumber: insightguides.com)
ASAL MUASAL ORANG INDONESIA DI AUSTRALIA
Memasuki bulan perhitungan sensus di Benua Kangguru, yuk kita ungkap profil Indonesian-Born Australian.
Sejarahnya
Menurut Home Affairs, hubungan antara Indonesia dan Australia sudah ada sebelum orang-orang Eropa bermukim. Dari tahun 1700-an, dan mungkin sebelumnya, sampai 1900, para pelaut dari Makassar berdagang tripang (bekicot laut) dengan penduduk asli di Australia Utara untuk pasar China.
Dari tahun 1870-an, orang-orang Indonesia direkrut untuk bekerja di sektor budidaya mutiara dan industri tebu di bagian utara Australia — umumnya orang Jawa. Dengan adanya pengetatan imigrasi di tahun 1901, para pekerja tebu umumnya kembali Indonesia, sedangkan beberapa penyelam mutiara tetap tinggal.
Dari tahun 1950-an, banyak pelajar Indonesia menjadi penetap sementara di bawah perjanjian Colombo Plan. Selama Perang Dunia II, pemerintahan Hindia Belanda yang tersingkirkan menetap di Australia. Peristiwa ini membawa serta juga sekitar 4500 pengungsi Indonesia, yang umumnya kembali setelah Jepang menyerah kalah.
Pengetatan masuknya imigran non-Eropa yang dilonggarkan pada akhir tahun 1960-an membuat banyak orang Indonesia menetap di Australia, menyebabkan jumlahnya meningkat empat kali lipat selama 1986-1996. Mereka umumnya adalah para pelajar dengan visa sementara, sedangkan lainnya masuk karena alasan keluarga atau program skilled migration.
Saat ini, komunitas Indonesia di Australia terdiri dari beberapa kelompok. Kelompok yang terbaru memiliki asal-usul campuran, mencerminkan keragaman etnis Indonesia modern.
Data dari hasil Sensus 2016
Wilayah Penyebaran
• 73.213 orang Indonesia lahir di Australia, sebuah peningkatan sebesar 15.9 persen dari sensus 2011.
• Jumlah orang Indonesia terbanyak tinggal di NSW dengan jumlah 31,774, disusul Victoria (17.805), Australia Barat (11.394), dan Queensland (7.321).
Usia dan Gender
• Usia rata-rata orang Indonesia di tahun 2016 adalah 36 tahun.
• Penyebaran usia menunjukkan 5,7 persen berusia 0-14 tahun, 16,6 persen 15-24 tahun, 47,0 persen 25-44 tahun, 20,5 persen 45-64 tahun, dan 10,2 persen 65 tahun dan lebih.
• Dari orang Indonesia yang lahir di Australia, 31.381-nya adalah pria (42,9 persen) dan dan 41.836-nya wanita (57,1 persen).
Keturunan
• Orang Indonesia yang berada di Australia adalah keturunan Indonesia (40.342), Tionghoa (34.396), dan Belanda (3.483).
• Orang Australia dilaporkan memiliki lebih dari 300 keturunan yang berbeda. Dari total keturunan yang merespons, 65.886-nya merupakan keturunan Indonesia.
Bahasa
• Bahasa utama yang dipakai di rumah orang Indonesia yang berada di Australia adalah Indonesia (52.833), Inggris (12.327), dan Mandarin (3.508).
• Dari 60.730 orang Indonesia yang berbicara selain bahasa Inggris di rumah, 90,2 persennya mampu berbahasa Inggris dengan sangat fasih atau cukup fasih, dan 9,2 persennya tidak berbahasa Inggris dengan fasih atau tidak bisa sama sekali.
Agama
• Agama terbanyak yang dianut oleh orang Indonesia di Australia adalah Katolik (17.602), Islam (13.845), dan Buddha (7.346).
• Dari jumlah orang Indonesia di Australia, 9,4 persennya menyatakan ‘Tidak beragama’ yang artinya lebih rendah dari total orang Australia (29,6 per cent). Sedangkan 4,5 persennya memilih tidak mencantumkan agamanya.
Kedatangan
• Dibandingkan dengan 61,8 persen total populasi yang lahir di luar Australia, 56,9 persen orang Indonesia datang ke Australia sebelum tahun 2007.
• Di antara total orang Indonesia yang lahir di Australia, 17,2 persen tiba pada tahun 2007 dan 2011, dan 23,3 persennya tiba pada 2012 dan 2016.
Pekerjaan
• Orang Indonesia yang berusia 15 dan lebih, pekerjaan di bidang labour adalah 66,0 persen, sedangkan tingkat penganggurannya 9,4 persen.
• Dari 41.037 orang Indonesia yang bekerja, 43,1 persennya pekerjaannya di sektor skilled managerial, profesional, atau perdagangan. [IM]