Gelar Lokakarya Penanganan KDRT Di Adelaide, KJRI Sydney Terus Tingkatkan Upaya Pelindungan WNI

549
Facebooktwitterpinterestlinkedinmail


Adelaide –
Hari Sabtu 7 Oktober 2023, KJRI bekerjasama dengan Organisasi CUKUP! Foundation kembali menyelenggarakan Lokakarya dengan tema “Panduan Penanganan Bagi WNI Korban KDRT di Wilayah Kerja KJRI Sydney”. Kegiatan ini merupakan bagian dari implementasi pencegahan KDRT dalam program KJRI Sydney BETA SIAGA, BErsama kiTA Saling jAGA, sebuah inovasi dalam pelindungan WNI. Program BETA SIAGA juga diusulkan sebagai kandidat untuk memperoleh Hassan Wirajuda Pelindungan WNI Award (HWPA) Tahun 2023 untuk kategori Pelayanan Publik di Perwakilan RI, khususnya terkait penanganan isu hak-hak perempuan dan kekerasan rumah tangga.

Lokakarya menghadirkan pembicara Amy Dhewayani, CEO CUKUP! Foundation/ Human Rights Senior for CALD (Culturally and Linguistically Diverse), yang juga penerima Penghargaan Hassan Wirajuda Award 2021, dengan moderator Boy Dharmawan, Koordinator Fungsi Protokol dan Konsuler KJRI Sydney. Lokakarya yang juga didukung Perhimpunan Pelajar Indonesia Australia (PPIA) Adelaide ini diikuti oleh 20 peserta dari berbagai organisasi masyarakat Indonesia di Adelaide, South Australia dan secara hybrid dengan mengundang seluruh Perwakilan RI di Australia.

KJRI bekerja sama dengan komunitas dan diaspora Indonesia secara rutin menyelenggarakan lokakarya guna terus meningkatkan pelindungan WNI di wilayah kerja KJRI Sydney (NSW, QLD dan SA). Upaya pelindungan ini juga dilakukan sejalan dengan meningkatnya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang terjadi di Australia.

Dalam sambutannya, Konsul Jenderal RI Sydney, Vedi Kurnia Buana menyampaikan apresiasi kepada tokoh masyarakat dan diaspora Indonesia yang turut berperan membantu KJRI Sydney dalam kegiatan terkait pelindungan terhadap WNI. Kegiatan yang dilaksanakan secara berkala dan berkelanjutan ini bertujuan agar WNI mengerti tentang aturan hukum Australia, hak-hak dan kewajiban, sehingga dapat mencegah terjadinya kasus hukum yang melibatkan WNI.

Diungkapkannya bahwa upaya ini diharapkan tidak hanya dapat memberikan bantuan sesama WNI yang memerlukan pertolongan, namun juga membangun kebersamaan antara KJRI dan komunitas WNI untuk saling menjaga dan peduli dalam melaksanakan pelindungan bagi sesama WNI dan tentunya membantu tugas KJRI untuk memberikan pelindungan maksimal kepada WNI di luar negeri.

Dalam paparannya, Amy membahas panduan untuk berbagai kasus KDRT yang kerap dialami WNI di Australia. Menurutnya korban kasus KDRT antara lain terjadi pada WNI pemegang Visa Turis, Pelajar dan Visa Temporer lainnya; Kasus yang berkaitan dengan agama dan latar belakang budaya; Kasus yang berkaitan dengan anak-anak; Kasus yang berkaitan dengan Pria dan Korban KDRT yang berkaitan dengan Manual dan Penyandang Disabilitas.

Menurut Boy Dharmawan, beberapa kasus KDRT terjadi karena ada relasi yang tidak setara dan kontrol berlebihan atas pasangan yang dilakukan pelaku. Pengekangan bahkan gesekan pendapat kerap muncul berupa hal-hal sederhana, seperti pembagian kerja rumah tangga, perbedaan pendapat, dan keinginan pasangan untuk bebas mengaktualisasikan dirinya.

Korban KDRT umumnya bertahan juga karena ada ketergantungan emosional dan keuangan. Ditambahkannya bahwa kasus KDRT seringkali terjadi secara tersembunyi, dan korban tidak dapat berbicara karena merasa takut atau malu bahkan dianggap sebagai aib keluarga yang harus ditutupi.

Diutarakan pula adanya kecenderungan meningkatnya kasus KDRT pada mahasiswa Indonesia yaitu antara mahasiswi WNI dengan pasangannya WNA yang kemudian memiliki anak. Dengan status visa pelajar maka posisi WNI menjadi lemah jika terjadi kasus KDRT, khususnya jika terjadi perselisihan untuk memperebutkan hak asuh anak. Jika (KDRT) diungkap, korban takut akan kalah di mata hukum sehingga korban tidak berani melaporkan kasusnya.

Ketua PPIA Adelaide, Alisha M. Hutomo, menyambut antusias penyelenggaraan lokakarya penanganan korban KDRT guna melindungi WNI khususnya para mahasiswa yang studi di South Australia. “Lokakarya ini memberikan pengetahuan lebih dalam dan create awareness terkait kasus KDRT di lingkungan kami, serta cara menanganinya jika hal tersebut terjadi kepada orang terdekat atau diri sendiri,” ujar Mahasiswa University of Adelaide Jurusan Hubungan Internasional ini.

Lokakarya ini juga mendapat dukungan dari Australian Indonesian Association of South Australia Incorporated (AIASA Inc). Ketua AIASA Inc, Julia Wanane mengungkapkan pentingnya pemahaman penanganan terhadap KDRT bagi WNI di Australia. “Lokakarya KDRT ini penting bagi seluruh WNI di South Australia agar mengerti tentang aturan hukum Australia, hak-hak dan kewajiban,” ujar wanita asal Sorong, Papua Barat Daya, yang sudah bermukim 20 tahun di Australia. “Pengetahuan ini memudahkan kita untuk membantu WNI jika menghadapi kasus hukum di Australia,” ungkap pegawai pada Infrastructure Division, Department for Education, South Australia Government ini.

Salah satu komunitas WNI yang kerap membantu KJRI Sydney di Adelaide adalah Adelaide Indonesia (Adelindo). Ketua Adelindo, Ferry Chandra menyampaikan apresiasinya kepada KJRI Sydney yang menyelenggarakan lokakarya terkait penanganan WNI korban KDRT di Adelaide. “Sebagai WNI di South Australia, kami menyambut baik pelaksanaan lokakarya KDRT yang bermanfaat guna membantu dalam menangani kasus KDRT di Adelaide,” ujar pria yang sudah bermukim 24 tahun di Australia.

Salah satu korban KDRT yang menceritakan pengalamannya adalah Susan (nama samaran). Pada awal perkawinan, kehidupan keluarganya berjalan dengan baik dan harmonis. Namun kemudian hubungan keluarga menjadi buruk dan penuh kekerasan sejak suaminya, laki-laki berkewarganegaraan asing, melakukan hubungan dengan wanita lain. Suaminya, kerap melontarkan kata kasar, dan caci maki jika berbeda pendapat. Akibatnya, Susan menderita tekanan batin dan selalu merasa khawatir.

Sebagai korban KDRT yang ditambah dengan sulitnya tekanan hidup di perantauan, menyebabkan Susan frustrasi dan mengalami depresi sehingga saat itu memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Dirinya sangat bersyukur bahwa pada saat kritis, anaknya (5 tahun) yang telah tidur pulas, tiba-tiba terbangun dan berteriak sambil menangis memanggilnya. Saat mendengar teriakan anaknya, dirinya terkejut, tersadar dan mengurungkan niatnya. Peristiwa tersebut menyadarkan dirinya untuk terus hidup demi anaknya.

“Ketika mengalami kesulitan, saya menjadikan anak sebagai “miracle dan malaikat penolong,” ujar wanita yang bermukim di Australia sejak tahun 1998 dan kini bekerja di Rumah Sakit Queensland Health, Brisbane.

Menanggapi peran KJRI atas kasus KDRT, Boy Dharmawan mengatakan, KJRI bertindak sesuai dengan aturan hukum setempat dan hanya bisa bertindak sesuai koordinasi dan kerja sama kepolisian. KJRI juga tidak memiliki wewenang melakukan intervensi dan investigasi korban KDRT di luar kantor KJRI. Kewenangan KJRI terbatas dan hanya bisa membantu dalam memastikan korban mendapatkan haknya, misalnya perlindungan, penjagaan selama 24 jam oleh polisi, nasehat tentang prosedur hukum, dan kewajiban lain yang menjadi hak korban KDRT. [IM]

Previous articleTour Bersama Community Leader Ke Parliament House NSW
Next articleR U OK – Reach US