Di sebuah kota sepi dekat Brisbane, Caboolture, tinggal seorang seniman Sunda hebat. Wilayah ini lebih dikenal dengan ladang stroberi, ketimbang keseniannya, namun tempat ini toh telah menjadi “rumah kedua” untuk Efiq Zulfiqar, semenjak tahun 2005.
Dua kalimat pembuka dari Tribunnews.com ini cukup membuat saya melahap semua info tentang Kang Efiq, seorang penggiat kesenian tradisional khususnya Sunda yang sangat mencintai panggilannya, memperkenalkan kesenian Sunda ke seluruh dunia. Mengontak beliau dan menerima responsnya, saya menduga nama besar yang disandangnya tidaklah membuat Kang Efiq besar kepala. Dan, membaca tulisan tentang dirinya, Anda pun pasti tidak akan menyangka bahwa karya-karyanya patut diberi penghargaan. Mari kita telurusi kisah tentang seniman Sunda yang kini bermukim di Australia ini.
Didekap Dunia Seni
Saya lahir di Purwakarta, Jawa Barat. Sejak bayi, atau usia 3 bulan, saya diurus dan dibesarkan oleh kakek dan nenek saya di daerah Jl. Gatot Subroto, Bandung, dari tahun 1970 sampai 1978. Di situlah saya habiskan masa kecil. Saya sempat sekolah di SD Halimun II sampai kelas 2 SD. Kemudian, saya pindah ke Karawang mengikuti Bapak yang bertugas di PT Pertani Persero dari tahun 1979 sampai 1981. Bapak saya juga adalah fotografer profesional dan ibu senang melukis. Tapi, dari antara anggota keluarga, hanya saya sendiri yang menjadi seniman.
Selama tinggal di Karawang, tepatnya di desa Telagasari, saya sering menonton pertunjukan kesenian tradisional, seperti Wayang Golek, Keliningan, Tanjidor, dll. Bahkan, hampir setiap hari saya sering mendengarkan dongeng Sunda oleh Mang Jaya di radio daerah, yang diselingi kacapi suling sebagai ilustrasinya. Dari situlah saya sudah tertarik dan menyukai seni Sunda.
Kemudian, kami pindah ke Subang, Jawa Barat. Masa kecil dan remaja saya bahkan lebih aktif dan dekat dengan berbagai ragam kesenian Sunda di lingkungan sekitar daerah saya tinggal.
Dari kelas 6 SD, saya sudah mulai belajar suling degung. Kemudian, belajar Suling dan Kacapi Cianjuran dari seorang seniman Sunda di Subang yaitu Mang Ucin. Dari situlah ketertarikan terhadap kesenian Sunda semakin kuat.
Setelah masuk SMP, saya mulai belajar gamelan degung di sekolah sampai tamat SMA tahun 1989. Waktu itu sempat datang kakak-kakak dari SMKI Bandung yang memberikan pelatihan gamelan dan Rampak Sekar selama mereka KKN di sekolah.Pada waktu SMA, di samping belajar dan aktif latihan gamelan, saya aktif juga di band sekolah waktu itu. Setelah lulus SMA, saya sudah mulai pentas gamelan dengan sanggar Segment waktu itu.
Ketertarikan terhadap kesenian Sunda, semakin kuat dan membuat saya ingin belajar lebih banyak lagi. Hingga akhirnya saya daftar Jurusan Karawitan di ASTI/STSI atau ISBI Bandung.
Kesenian Sunda Sebagai Identitas Bangsa
Saya mencintai musik atau Karawitan Sunda, karena merupakan bagian dari seni dan budaya atau identitas bangsa yang khas, yang tidak dimiliki oleh bangsa lain. Sama seperti pakaian, makanan, perilaku dan kebiasaan. Sebagai orang Indonesia khususnya orang Sunda, saya bangga bisa memiliki seni dan budaya yang sangat kaya dan beraneka ragam. Karena merupakan salah satu aset dan kekuatan bangsa disamping sektor ekonomi, politik, dan sektor penting lainnya.
Kesenian Sunda dalam perkembanganya cukup mendapatkan tempat di mata nasional maupun internasional. Hal ini tidak lepas dari aktivitas para seniman, pendidik, pemerintah maupun pihak swasta yang tak henti mempromosikan seni budaya Sunda khususnya.
Persaingan global saat ini menurut saya pribadi tidak menyurutkan perkembangan musik Sunda itu sendiri, malahan lebih kaya dan bervariasi karena disamping kita mempelajari sistem musik tradisi, kita juga mempelajari sistem musik Barat. Hasil dari kedua sistem itu menjadikan musik Sunda mendapatkan tempat yang layak di mata dunia internasional.
Di kalangan generasi muda sendiri saat ini banyak sekali seniman atau grup kesenian Sunda yang malahan lebih aktif dengan talenta yang sangat membanggakan. Terlebih di era teknologi dan informasi yang pesat ini, mereka bisa mempelajari banyak tentang musik Sunda dan bersosialisasi dengan dunia internasional.
Dulu belum ada YouTube, Facebook dll. Generasi muda sekarang bisa lebih pandai memanfaatkan teknologi yang ada untuk tetap aktif dalam mengembangkan seni budaya khususnya Karawitan Sunda.
Acuan Sistem Pendidikan Musik di Australia
Jika saya dapat kesempatan bekerjasama dengan Dinas Pendidikan di Indonesia, saya akan membuat program pembelajaran musik tradisi untuk sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. Mungkin konsep ini pernah dijalankan, tapi sistem pembelajaran atau kurikulumnya mengacu pada sistem pendidikan musik di Australia.
Kebetulan, saya aktif juga di Musica Viva Australia yang hampir 13 tahun melakukan tur ke sekolah-sekolah di seluruh pelosok Australia. Kami melakukan pertunjukan interaktif dengan materi musik traditional Indonesia. Sistem yang mereka jalankan sangat bagus dan terorganisir dengan baik. Alasannya, untuk anak sekolah, mempelajari seni budaya tradisi merupakan kebutuhan disamping menambah wawasan, mengenal seni budaya daerah, dan merangsang anak untuk berkreativitas dan berimajinasi.
Tujuannya disamping memperkenalkan sistem musik tradisional Indonesia, juga menjelaskan latar belakang budayanya, seperti makanan, cara kita berpakaian, filosofi, dll., secara interaktif dengan anak-anak sekolah di seluruh Australia. Dari interactive show tersebut, anak-anak sangat senang dan antusias melihat pertunjukan kami. Bahkan, orangtua murid maupun guru-guru di sekolah tersebut sangat mengapresiasinya dan ingin kami datang lagi.
Serunya Kolaborasi Lintas Musik
Selama beraktivitas di musik, banyak sekali pengalaman dan momen menarik, terutama waktu berkolaborasi dengan musisi lain yang memiliki genre atau bahkan latar belakang budaya yang berbeda. Seperti waktu pentas di Planet Indigenous Festival di Kanada tahun 2009 lalu. Kami bertiga Tjupurru (Didjeribone), Kitch (Beatbox), dan saya (Suling Sunda) dari Australia berkolaborasi dengan musisi tradisional dari suku Mohawk Indian. Setiap ritme yang dimainkan mengandung arti yang sangat dalam dan sakral.
Kemudian waktu tur ke Jepang, sekitar tahun 2015 dan 2016, kami berkolaborasi dengan musisi dari suku asli Jepang, yaitu Ainu people yang alat musik tradisi yang hampir sama dengan di Sunda, yaitu Mukuri atau Karinding.
Masih banyak lagi kolaborasi, seperti dengan musisi India, Afrika, Selandia Baru, dan yang lainnya, dengan berbagai latar belakang genre yang berbeda, seperti jazz, reggae, celtic, dan lainnya. Sungguh pengalaman yang sangat berkesan dan tak terlupakan.
Yang Disebut Pencapaian
Setelah saya menyelesaikan S1 di STSI Denpasar jurusan Karawitan, saya kembali ke Bandung dan bergabung dengan beberapa grup musik, seperti Idea Percussion, Zithermania, Jugala Sambasunda, dll. Ketika itu, Kang Pra Budi Dharma dan Kang Dwiki Dharmawan, dari grup band Krakatau, datang ke kampus STSI/ISBI. Mereka mengajak saya bergabung dengan Krakatau yang mengusung fushion ethnic jazz melalui Kang Ade Rudiana dan Pak Yoyon Dharsono yang merupakan musisi sekaligus dosen karawitan di STSI/ISBI Bandung.
Semenjak bergabung, kami banyak mengeksplorasi karawitan Sunda yang dikemas dengan unsur jazz, baik itu ritme, melodi ataupun laras-laras Karawitan Sunda seperti pelog, salendro, madenda, dll, hingga kami merilis album bertajuk Magical Match dan sukses melakukan banyak tur, baik di Indonesia maupun di luar negeri, termasuk Australian Tour tahun 1997 dan 2000, yang dikelola oleh Mas Arif & Margaret dari Arimba Culture Exchange.
Sebetulnya, hampir semua event, terutama di luar negeri, adalah pencapaian tertinggi buat saya. Di momen itu, saya dan teman-teman musisi dari Indonesia sangat bangga dan kagum bahwa musik Sunda bisa diterima dan disambut dengan antusias oleh dunia internasional.
Adapun pencapaian tertinggi lainnya, saya ingin kembali berkolaborasi dengan musisi atau grup yang saya pernah bergabung sebelum saya menetap di Australia. Selain rindu dengan prosesnya, saya juga belajar banyak dari mereka.
…dan Menetap di Aussie
Sewaktu pertama pindah dan menetap di Australia, kendala pertama saya adalah bahasa, budaya, sosialisasi, dan penyesuaian sistemnya yang berbeda dengan di Indonesia. Tapi, akhirnya bisa beradaptasi juga, apalagi dibantu dan didukung oleh isteri saya yang berwarganegara Australia. Saya banyak belajar budaya Australia dan, sebaliknya, mereka banyak belajar tentang Indonesia dari saya jadi ada timbal baliknya.
Dan, ternyata di Australia negaranya sangat multikultural sehingga memudahkan saya dalam melakukan berbagai aktivitas, terlebih komunitas Indonesia di sini cukup besar.
Di daerah Brisbane sendiri ada BEMAC (Brisbane Multicultural Arts Centre) yang merupakan organisasi multikultural yang memberikan support untuk seniman yang berdomisili di Brisbane, khususnya musisi dari berbagai negara.
Saya memilih Caboolture, pertama, karena isteri saya mengajar di sekolah Caboolture. Kedua, dekat dengan keluarga isteri saya. Ketiga, tempatnya di antara Sunshine Coast dan Brisbane yang banyak tinggal teman-teman seniman dan juga komunitas Indonesia. Keempat, karena Caboolture adalah daerah multikultural yang mempunyai ikon festival besar, seperti Urban Country Festival, Medieval Festival, Caboolture Multicultural Festival, dan Woodford Folk Festival. Untuk rekreasi juga dekat dengan daerah pantai, seperti Bribie Island dan beberapa destinasi wisata di daerah Sunshine Coast.
Saya bertemu isteri saya di Bandung, sekitar tahun 2000. Waktu itu, dia sedang menjalani program pertukaran pelajar untuk mempelajari musik tradisional Indonesia, khususnya Karawitan Sunda di STSI/ISBI Bandung. Waktu itu, saya banyak berproses di kampus dengan grup Krakatau dan Sambasunda. Isteri saya adalah seorang musisi juga, spesialis piano klasik. Kemudian, pada tahun 2002, kami memutuskan untuk menikah. Sebelum hijrah ke Australia, kami sempat tinggal di Bandung dan dikaruniai anak perempuan kami yang pertama. Selama di Bandung, isteri saya mengajar bahasa Inggris di TBI dan saya aktif di musik bersama Krakatau, Sambasunda, dan sempat juga bergabung dengan Baladna bersama Mas Sawung Jabo dan DKSB bersama almarhum Mas Harry Roesli.
Tahun 2005, kami memutuskan untuk hijrah ke Australia, tempat di mana isteriku berasal, sampai sekarang. Di sinilah anak kedua kami lahir. Lengkap sudah keluarga kami dengan anak laki-laki dan perempuan. Banyak sekali proses dan aktivitas yang dilalui bersama terutama di bidang musik. Anak-anak besar di lingkungan komunitas musik. Karena berasal dari dua budaya yang berbeda, kami banyak mengajarkan kedua budaya tersebut supaya mereka tahu dari mana latar belakang mereka. Kami juga mendidik mereka supaya bisa menghargai perbedaan untuk masa depan, di manapun mereka nanti berada setelah dewasa nanti.
Proyek Masa Depan
Selain aktif sebagai musisi, saya juga aktif di bidang seni rupa dan desain grafis. Menggambar dan melukis adalah hobi saya juga dari kecil. Selain itu, keseharian saya adalah sebagai bapak rumah tangga.
Adapun proyek seni yang saya garap sendiri atau kolaborasi adalah:
• Mengumpulkan komposisi saya yang jumlahnya sekitar lebih dari 60 buah, terdiri dari komposisi dan lagu. Saya ingin membuat album solo saya sebagai dokumentasi perjalanan karier di dunia musik selama 30 tahun.
• Meneruskan proyek dengan indigenous band DOM (Department of Music) dengan membuat EP atau album sekalian tur atau pentas di festival-festival di Australia maupun di luar Australia, termasuk Indonesia.
• Menggarap Gotan Project bersama group Jazz Out of Abingdon dengan memadukan komposisi dan lagu Spanyol dipadukan dengan nuansa Karawitan Sunda dan musik elektronik.
• Melanjutkan virtual interactive show bersama Makukuhan Gamelan Trio di bawah Musica Viva Australia. Sekaligus membentuk world music project diluar school shows bersama Makukuhan band.
• Melanjutkan proyek Australian Gamelan Festival bersama Australian Gamelan Festival Inc.
• Menyelenggarakan Indonesian Festival Caboolture yang ke-2.
• Kolaborasi dengan group musik lain untuk event yang tertunda, dan yang akan datang bersama beberapa group dari Australia, seperti Energetic Zen.
• Berkolaborasi dengan grup Syailendra dari Indonesia yang mengusung world music jazz menggunakan laras pentatonik salendro dan dekatonik bersama Pra B Dharma, Agam Hamzah, dan Deva Permana.
Dan masih banyak lagi proyek kolaborasi dengan musisi-musisi Australia, Brunei, dan Indonesia.
Saya berharap, musik tradisional Indonesia akan selalu dihargai dan mendapatkan tempat, baik itu di Indonesia sendiri maupun di luar negeri. Hal itu tak lepas dari kontribusi dan dukungan dari semua pihak. Harapan lainnya adalah seni dan budaya tetap menjadi soft diplomatik bagi kelangsungan hubungan antara Indonesia dan Australia sebagai negara tetangga terdekat. [IM]