And They Try And Try To Live Hapilly Ever After

486
Facebooktwitterpinterestlinkedinmail

 

Cinta dalam hubungan pacaran sesungguhnya akan menemukan bentuknya
yang “sempurna” saat menikah. Jika hanya cinta romantis yang kita harapkan, bersiaplah kecewa.

Saat ini, pernikahan berada dalam titik kritis; para milenial memandang sinis institusi agung ini karena begitu banyaknya pernikahan yang gagal. Harus diakui, pernikahan memang hal yang sulit. Di seluruh dunia, angka perceraian mencapai 41 persen
(50 persen di Amerika Serikat, 42 persen di Inggris, dan di Australia, di tahun 2019,
ada 113,815 pernikahan yang terdaftar dan 49,116 perceraian yang ditetapkan).

Di tengah angka yang makin meningkat dan pesimisme yang meningkat, masih lebih banyak mereka yang percaya pada pernikahan. Memang, mengikat janji sehidup semati tidak serta merta membuat hidup aman dari kegagalan dan kekecewaan. Orang yang menikah tentu paham bahwa hidup yang tadinya untuk diri sendiri, kini harus–mau tak mau–berkorban. Dan, itu butuh latihan.

Orang yang berbudaya bebas melakukan “latihan” ini dengan cara hidup bersama sebelum menikah karena mengikat diri (komitmen) dalam janji sehidup semati tak semudah mengatakannya di depan pastor dan saksi. Sementara orang yang memilih hidup bersama setelah pernikahan pun tak kurang menghadapi kesulitan mengaplikasikan janji setianya dalam sehat dan sakit, miskin dan kaya, sampai maut memisahkan.

Pendek kata, pernikahan adalah proses panjang–bahkan seumur hidup. Bedanya, ada yang benar-benar sabar dan ada yang nggak sabar saja. Nah, untuk merayakan bulan cinta ini, Indomedia ngobrol dengan pasangan yang menikah puluhan tahun, beberapa tahun, akan menikah, maupun para single ladies yang masih menunggu waktu yang tepat, tentang–what else?–pernikahan yang bahagia. Ya, kami mungkin sekumpulan orang
yang masih percaya akan jargon dongeng yang berbunyi and they live happily ever after.

Esther Gunawan dan Teddy Gunawan,

Menikah sejak 8 Oktober 1988, memiliki dua putra dewasa

Cinta pandangan pertama?
Enggak, tapi pastinya cinta pandangan terakhir.

Masa terberat dalam pernikahan?
Waktu 1998, pokoknya setelah anak-anak beranjak remaja. Buat kami, mengurus teenagers nggak mudah. Cara pikir mereka belum mengerti dengan apa yang kami pikirkan, terutama karena mereka besar di Australia, di mana kehidupan berbeda dengan di Indonesia. Terutama waktu Teddy sakit; itu masa terberat buat saya. Saya nggak bisa membayangkan “ditinggal” saat anak-anak masih kecil.

Masa termanis dalam pernikahan? Setelah Teddy sehat kembali. Sejak itulah masa-masa termanis pernikahan kami dimulai (lagi).

Nasihat pernikahan: Selalu sehati dan sepakat dalam mengurus apa saja. Perubahan hanya terjadi saat kita sehati. Kalau keputusan selalu berbeda–satu ke kanan, satu ke kiri, percuma. Nggak ada kecocokkan. Pernikahan kuat karena sehati. Background pasangan memang berbeda-beda, kita nggak pernah tahu sebelum menikah. Tapi, kalau kita sepakat dan sehati, walaupun latar belakang beda, apalagi memiliki keyakinan yang sama, barulah kita punya jalan keluarnya.

Tahun ke berapa bisa Anda berdua bisa sepakat? At least setelah 10 tahun.

 

Gideon Lesmana dan Natha Krisna, 

Menikah sejak 15 Agustus 2015, memiliki putri berusia 4 tahun dan sedang menantikan anak kedua. 

Cinta pandangan pertama? No, it wasn’t.

Apa yang membuat kalian yakin he/she
is the one?
Kami berteman sudah lama sebelumnya. Kami saling mengenal satu sama lain dengan baik. Dari situ, we grew in love to each other. We are each other’s bestfriends. Hubungan kami tidak mudah, semacam ujian. Yang pasti, teruji.

Masa terberat pernikahan? Kami masih
saling belajar, apa yang dia suka dan tidak suka. Kami masih bikin kesalahan.
Apa yang big deal buat Natha, belum tentu penting buat saya. Cara mengatasinya,
kami tetap bertukar pikiran, menjaga komunikasi, kuncinya.

Masa termanis dalam pernikahan? Definitely waktu Naomi lahir. She was a blessing karena dulu Natha diprediksi dokter untuk sulit mengandung. I was not worried.
Kami memilih untuk percaya pada Tuhan.

Hikmat pernikahan yang kalian dapatkan? For me, communication is always the key. Sedangkan buat Natha, komunikasi dan inisiatif harus saling melengkapi. Understanding and also compromising also play important role.

 

Erwin Gianni Tanaka, 35, bertunangan

Dulu, pernah ada usia ideal untuk menikah? Ada, 25 sampai 30 tahun.

Apa arti pernikahan buat kamu saat itu? Tergantung pada situasi dan kondisi juga, sih. Kalau waktu itu belum tercapai, ya situasikan dan kondisikan lagi saja dengan yang ada.

Setelah target itu terlewati, kini arti pernikahan buat kamu? Pernikahan harus dilihat dua sisi yang harus kita saling kompromikan dan melakukan pengorbanan. Dilihat dari sisi relijius, kita harus menepati perintah Tuhan untuk beregenerasi. Dan, di dalam kehidupan kita sendiri, kita kan sudah memiliki tujuan. Dan, pernikahan, buat saya, adalah salah satunya. Usia bukanlah halangan untuk tetap meraih tujuan hidup. Kita harus menyadari bahwa pernikahan membutuhkan banyak hal dan tidak bisa dipaksakan.

Bagaimana kamu melihat diri kamu sebagai seorang suami? Menurutku, seorang suami harus menjaga istrinya, baik secara material maupun emosional (menjaga cinta). Kalau kita melihat kehidupan di Aussie, saat ini suami dan istri bekerja. Dulu, kan,
suami yang harus kerja. Istri di rumah, urus rumah. Sekarang istri bekerja supaya
ada aktivitas dan menjadi nggak bosan. Tanggung jawab utama seorang suami
adalah menjaga keluarganya. Itu sebabnya ia harus menjadi pemimpin yang baik.
Nggak hanya dapat memimpin, ia juga harus memiliki kasih. Tanpa kasih, ia akan
menjadi diktator. Istilahnya dalam konteks karakter, ia harus bisa menyeimbangkan
sisi kolerik dan melankoliknya. Jangan lupa juga untuk bekerja agar dapat menafkahi keluarga. Kan, nggak ada mau juga hidup susah setelah menikah.

Apa yang kamu lihat dari calon istri? Saya ambil definisi istri dari Bible aja, yaitu seorang istri yang dapat menyokong, posisinya bukan di bawah (kaki), tapi di sisi.
Dari yang saya dengar, sebetulnya yang seorang istri dukung itu adalah gagasan suaminya. Dia dapat memengaruhi cara berpikir dan suasana hati suaminya.
Meski saya belum menikah, dari hasil sharing mereka yang sudah menikah dengan saya, main responsibility seorang istri lebih ke dukungan. Suami dan istri harus berada dalam the same page dan memiliki tujuan yang sama agar hubungan pernikahan lebih manis. Jadi, tujuan masing-masing harus diperjelas sebelum menikah agar kita tahu apakah sedang berjalan ke arah yang sama dan menginginkan hasil yang sama. We need to
know what do we want, why we choose this person
. Kita tidak menikah karena
tuntutan usia, teman, atau orangtua. Keputusan itu harus datang dari diri sendiri.

Kejutan apa yang akan kamu dapatkan setelah menikah? Rutinas yang berbeda.
Itu pasti membutuhkan kompromi yang lama dan perlu kenal satu sama lain lebih dalam. Itu sebabnya aku berprinsip untuk tidak tinggal dengan orangtua setelah menikah.

 

Amanda Arlene, 22 tahun, & Eunike Tirza, 21 tahun, lajang

Menurut kalian, apa itu pernikahan? 

Amanda: Aku ingin menikah suatu hari
nanti karena semua orang berhak mendapatkan cinta. Saya juga mau punya anak.

Eunike: Bisa berbagi hidup dengan orang
yang kita cintai dan menunjukkan cinta pada anak-anakku kelak. Ingin punya anak adalah alasan saya untuk menikah dan berkeluarga.
It’s a cycle of life.

Untuk menikah, kalian harus mendapatkan Mr. Right, right? Apa kriteria kalian untuk pria calon suami kalian ini?

Amanda: Lebih suka dari latar budaya yang sama sepertiku, dan beragama yang sama. Tidak malas, bisa menjagaku.

Eunike: Sama. Kalau bisa dari latar budaya dan agama yang sama.
Dia harus family person, romantis, dan percaya diri, serta bisa menjagaku.

Kira-kira, usia berapa kalian akan menikah?

Amanda: I don’t see anytime soon. Mungkin usia 30. Pokoknya, nggak segera lah.

Eunike: Idealnya, sih, 25. Tapi, semakin mendekat usia itu, sepertinya bakal lebih, deh.

And that’s just it: orang masih dan ingin menikah. Pernikahan mungkin semakin nggak populer, tapi bukan berarti mati suri. Masih banyak orang yang ingin diberkati dalam pernikahan, bermimpi dan berjuang bersama untuk hidup dalam cinta sejati. Kita masih mendambakan rasa aman dan kebersamaan, romansa dan dukungan, terikat secara hukum dan norma agama dalam sebuah komitmen kekal. Di tengah gempuran perceraian yang pahit, pernikahan masih menjadi pilihan untuk hidup bahagia bersama. [IM]

Previous articleDosis Vaksin Pfizer Pertama Telah Tiba Di Australia
Next articleGulfan Afero