Akhiri Sunat Perempuan Melalui Diskusi, Refleksi dan Pidato Inspiratif

257
Facebooktwitterpinterestlinkedinmail


Pada 9 Maret 2024 lalu di Auburn Community Centre, Western Sydney Local Health District (WSLHD) mengadakan acara Forum Kesehatan 2024 untuk memperingati International Day of Zero Tolerance for Female Genital Mutilation/Cutting (Hari Internasional Tidak Ada Toleransi bagi Sunat Perempuan – FGM/C), dengan tema “Her Voice, Her Future”. 

Forum Kesehatan ini diselenggarakan guna mengakhiri sunat perempuan dan mendukung para penderita yang selamat (penyintas) melalui diskusi, refleksi, serta pidato inspiratif.

Ibu Fanny Buana, istri Konsul Jenderal RI di Sydney, yang menjadi salah satu pembicara, menekankan pentingnya mengakhiri FGM/C melalui kerja sama antara pemerintah, NGO, komunitas, dan individu secara global. Pendekatan kolaboratif diperlukan untuk mengakhiri praktik ini.

Melalui pendidikan, pengetahuan hukum, dan peningkatan kemampuan komunitas, FGM/C dapat dihapuskan dan hak-hak perempuan terkait kesehatan dan kesejahteraan mereka dapat dilindungi. Demikian pesan Ibu Fanny.

Selain Ibu Fanny, Jasmin Ellis, General Manager Integrated & Community Health WSLHD, menekankan pentingnya memperkuat daya para wanita untuk mencapai kesetaraan sosial dan ekonomi. Kesetaraan di dunia berawal dari memastikan setiap wanita dan anak perempuan memiliki kesempatan untuk memimpin, berkembang, dan menentukan masa depan mereka.

Jasmin juga menyoroti bahwa setidaknya 200 juta wanita dan anak perempuan di dunia pernah mengalami FGM/C, menegaskan betapa pentingnya menghentikan praktik ini.

Wanita dan anak perempuan penyintas yang berada di masyarakat kita adalah kunci untuk mengubah norma-norma sosial. Acara yang juga dihadiri oleh Alison Derret, Executive Director Operation of WSLHD, menekankan makna forum ini dalam skala kesehatan yang lebih luas. 

Melalui berbagai program, pembicara, dan peserta menunjukkan aspek dan dimensi masalah FGM/C, yang meliputi masalah fisik, psikologis, dan sosial budaya.

Dr. Ahlam Ibrahim mengatakan bahwa seorang dokter umum juga berperan dalam mendukung dan memberdayakan penyintas untuk berkembang. Sementara itu, Associate Professor Nesrin Varol mengeksplorasi tantangan kesehatan fisik dan psikoseksual yang dihadapi penyintas dan keluarganya, menekankan kebutuhan akan dukungan dan perawatan secara menyeluruh.

Dipti Zachariah dari Multicultural Health Services menutup acara dengan menegaskan bahwa pemberdayaan wanita memiliki dampak yang luas, tidak hanya bermanfaat bagi keluarga, tetapi juga bagi masyarakat dan negara.

Acara ini merupakan pengingat pentingnya pendidikan, persatuan, pembelaan, dan tindakan melawan sunat perempuan. Dengan memperkuat suara penyintas, memberdayakan masyarakat, dan membina kolaborasi, kita mengambil langkah tegas menuju masa depan di mana setiap wanita dan anak perempuan bebas dari FGM/C, dan di mana hak dan martabat mereka ditegakkan tanpa kompromi.

Sebagaimana diketahui, praktik sunat anak perempuan masih terjadi di Indonesia, meskipun telah dilarang oleh pemerintah. Praktik ini masih dilakukan secara sembunyi-sembunyi dengan alasan keagamaan. Sementara itu, negara-negara lain, terutama di Afrika, melakukan sunat perempuan sebagai adat turun-temurun tanpa memandang agama. [IM]

Previous articleSilaturahmi dan Halal Bihalal Bersama IWINA
Next articleMendidik Anak di Era Digital dan Membangun Keluarga Harmonis di Australia